The Irregular Lifeforms Chapter 09 - Sekelompok Penculik dan Tawanan Terhormat



Seorang gadis cantik bernama Airi datang entah dari mana. Dia bukan salah satu warga dari desa Aztro, tetapi berada di tempat seperti ini dengan bebas. Sebenarnya apa yang dipikirkan gadis ini? Terlebih dia hampir terkejar oleh Goblin tadi, sungguh ceroboh.

Kami saling berkenalan satu sama lain. Ya, kurasa tak ada alasan bagiku untuk mencurigainya setelah kejadian tadi. Airi mengatakan padaku tentang kedatangan Goblin itu secara tiba-tiba, awalnya ia sempat menyusup ke markas mereka, tapi ketahuan oleh salah satu dari mereka sehingga menyebabkan ia berkejar-kejaran tidak karuan.

“Ne, Kagami. Mau membantuku mengambil harta itu? Nanti kita bagi menjadi dua, bagaimana?” 

“Uh, harta ya? Seperti harta karun, kah? Yah, terserahlah. Kurasa cukup menyenangkan juga.”

Dia sempat menyinggung sesuatu seperti harta. Yup, Airi bilang Goblin itu tengah menjaga harta dalam jumlah banyak, entah dari mana datangnya. Karena sesuatu tentang harta itu cukup menarik perhatianku, sebenarnya alasanku hanya agar mendapat uang lebih sih.

“Baiklah, tapi dengan syarat akan dibagi sama rata. Bagaimana?”

“Tidak apa, jika kau mampu menunjukkan kekuatanmu untuk mendapatkan harta itu, aku akan dengan senang hati membaginya.”

Dia mengeluarkan wajah penuh percaya diri. Seberapa tinggi kah bagi seorang petualang yang lari dari kejaran Goblin?

Setelah menyepakati perjanjian, Airi menunjukkan lokasi di mana harta karun tersebut disimpan melalui peta hologram di Device-ku. Awalnya dia terkejut ketika muncul peta tersebut, terlebih dia bisa melihat seluruh kota dan bahkan ketika aku memperbesarnya, kami bisa melihat diri kami sendiri. Yah, kurasa teknologi ini terlalu canggih untuk dunia ini. Tapi beruntunglah peta tersebut tidak dapat melihat ke dalam bangunan, karena jika bisa maka aku akan dengan mudah mengintip gadis-gadis yang tengah mandi.

Kami segera menuju lokasinya, setidaknya itu berada beberapa ratus meter ke pusat kota. Kami melewati jalan utama karena di dalam peta tidak terdeteksi adanya tanda kehidupan. Aku melihat banyak sekali bangunan tua dan setengah hancur. Benar-benar mirip seperti kota hantu.

Sembari mengamati peta, aku dan Airi terus berlari ke menuju sebuah bangunan besar dan luas yang terlihat masih utuh, tapi terlihat tidak terawat sama sekali dengan banyak sulur tumbuh di dinding bagian luar.

Jumlah titik hijau pada peta berjumlah 11 tanpa menghitung aku dan Airi, yang berarti para Goblin itu berkurang cukup banyak. Kami terhenti di depan bangunan yang sepertinya dahulu digunakan sebagai gedung pemerintahan.

“Tidak ada tanda-tanda Goblin di sekitar sini. Kemungkinan mereka semua masih berada di dalam dan tak menyadari kedatangan kita.”

“Huh! Begitukah? Syukurlah jika mereka tidak menyadarinya.”

“Kita masuk sekarang, Airi?”

“Ya! Kurasa lebih cepat lebih baik.”

Kami memasuki bangunan berlantai dua tersebut, aku mengendap-endap agar tidak bersuara, lantai yang terbuat dari batu marmer cantik itu terlihat setengah hancur dan berserakan, ada juga beberapa pecahan benda seperti vas bunga dan bingkai lukisan. Kini di hadapanku terdapat ruangan besar dengan tiga pintu yang berada di sebelah kiri, depan, dan kanan. Aku harus memilih yang mana?

“Kau bilang sudah pernah masuk kemari? Jadi ke mana selanjutnya?”

“Lewat sini, Kagami!”

Dia mendahuluiku dan menarik tangan kananku menuju ke pintu sebelah kiri. Airi mendorong pintu tersebut, lalu masuk begitu saja seperti tidak takut akan adanya jebakan yang mungkin saja telah menunggu kami. Ruangan selanjutnya berbentuk lorong dengan tiga pintu, satu berada di sisi kanan dan dua berada di sisi kiri.

Lagi. Airi menarik tanganku menuju pintu di sebelah kanan, tapi langkah kami berhenti setelah sampai di depan pintu tersebut. Dia menatap ke arahku dengan wajah aneh. Terlihat begitu sedih dan gelisah, seakan hendak menangis, tapi tak mampu.

“Apa menurutmu yang kulakukan ini benar, Kagami?”

“Entahlah, tapi kita sudah sejauh ini. Mau bagaimana lagi?”

“Ji-jika ini adalah pilihan yang salah, apa kau mau melindungiku?”

“Tentu saja!”

“Janji? Kau berjanji akan melindungiku, ‘kan?”

“Um, aku janji.”

Kenapa? Aku tanpa ragu menjawabnya. Terasa jiwaku seakan terpanggil untuk melakukan sesuatu yang mulia. Padahal ini hanya rencana pencurian harta dari para Goblin ‘kan? Kenapa aku bisa setenang ini?

Dia menunduk penuh kekhawatiran. Aku lantas menyentuh pundaknya dan mencoba meyakinkannya, jika pun dia tidak mampu melakukan hal ini, cukup aku saja yang melakukannya. Tapi jika begitu mungkin semua harta akan menjadi milikku.

“Berjuanglah, Airi. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian.”

Dia kembali melihatku dengan mata berkaca-kaca. Eh? Aku tidak mengatakan sesuatu yang aneh ‘kan? Aku tidak menyakiti perasaannya ‘kan? Kenapa dia hampir menangis lagi?

“Sebelumnya maafkan aku.”

“Untuk apa?”

“Nanti akan kujelaskan. Tapi Kagami, kau adalah laki-laki pertama yang sangat membuatku tertarik.”

“Tertarik pada apa?”

“Diamlah!”

Aku menggapai tangan kirinya. Kemudian aku meletakkannya ke pintu di hadapan kami. Aku memberinya isyarat dengan anggukkan pelan. Lantas kami mendorong pintu tersebut bersama-sama.

Pintu tersebut perlahan terbuka. Pandangan pertama yang aku bayangkan adalah sebuah ruangan berisi banyak harta karun yang di jaga oleh Goblin. Tapi semua itu hanya imajinasi belaka. Di hadapanku kini hanya terdapat ruangan mewah yang usang dengan delapan orang di dalamnya. Tujuh pria bersenjatakan pedang dan tombak dan seorang wanita berusia sekitar 30 tahun yang memakai gaun berwarna merah, sangat serasi dengan rambutnya yang juga berwarna merah delima.

“Siapa di sana?”

Ha? Apa-apaan ini? Teriakan salah satu pria yang menoleh ke arah kami membuat keenam pria lainnya ikut melihatku dengan tatapan penuh kebencian. Lalu, di mana harta dan Goblin itu? Mengapa yang kutemukan hanya beberapa manusia?

Jika dipikir kembali, aku hanya menandai titik hijau kepada makhluk hidup, tapi tidak kepada Astal. Wajar jika Device-ku menganggap bahwa Goblin dan manusia memiliki warna sama di dalam peta. Yah, sepertinya aku harus mengatur ulang simbol di Device ini.

Untuk sekarang, kesampingkan dahulu masalah Goblin itu. Di depanku, wanita tua tersebut bukan hanya sekadar duduk santai di atas lantai, tapi kedua tangan dan kakinya diikat menggunakan tali, mulutnya pun ditutupi dengan kain. Jangan-jangan? Mungkinkah wanita itu? 

Aku menoleh ke arah Airi yang sejak tadi terdiam. Kupikir dia juga akan terkejut sepertiku, tapi tidak, kulihat kedua matanya mengeluarkan air mata, bibirnya bergetar tak karuan. Gadis tersebut tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Ibu! Bertahanlah! Aku akan menyelamatkanmu!”

Benarkah? Wanita itu ternyata memang ibunya. Ia meronta-meronta seakan ingin segera kemari untuk menemui anaknya. Menurut opiniku, bukankah ini semacam penculikan terhadap warga sipil? Jika benar, maka apa motif mereka untuk melakukannya? Sebagian penjahat mungkin meminta tebusan berupa uang dan barang berharga lainnya.

“Cepat tangkap kedua bocah itu!”

Seorang pria dengan rambut coklat yang terlihat seperti pemimpin kelompok itu meneriakkan perintah, dan keenam lainnya langsung berlari ke arahku sambil memegang kuat-kuat senjata mereka.

“Matilah kau, Bocah sialan!”

Secara refleks aku bergeser ke kiri, pedang miliknya hanya menembus udara di sampingku setelah ingin mencoba menusuk dengan kekuatan penuh. Sedikit saja aku terlambat menghindar, mungkin pedang itu kini telah menancap di perutku. Aku membalasnya hanya dengan tendangan kaki kiri, seketika ia terhempas kuat hingga menghantam dinding ruangan.

“Auto Boost, aktif.”

Alvis, ternyata kau sangat pengertian kepada tuanmu, ya? Ketika aku menendang lawanku sekuat mungkin, Alvis mendeteksinya sebagai pertarungan nyata dan secara otomatis mengaktifkan sihir modern non-atribut untuk memperkuat serangan fisikku.

Seseorang kembali menyerangku, dia menghunuskan pedangnya dari atas. Tapi terlalu banyak celah padanya serangannya, apakah dia tidak mahir menggunakan pedang? Aku menahan tangannya dengan tangan kiriku, dia kini tak dapat bergerak, kemudian kutembak begitu saja dengan Charlotte hingga tubuhnya berlubang seukuran bola sepak.

“Sial! Aku lupa mengatur pelurunya!”

“Ah, Anda melakukannya lagi. Dalam catatanku, ini sudah kali ke 72.”

“Kau tidak harus mengingatkanku, Alvis!”

Yah, beruntunglah hanya satu orang yang kutembak dengan peluru plasma. Apa jadinya jika sejak awal aku terbawa suasana dan langsung menembak mereka semua? Pertarungannya tidak akan nikmat, ‘kan?

Lima orang yang tersisa terlihat cukup terkejut melihatku dapat mengalahkan keduanya sekaligus. Tapi keadaan semakin rumit, mereka mendekati ibu Airi dan mengacungkan bilah tajam itu ke lehernya. Jadi kini mereka memakai strategi licik, ya?

“Tetap diam di situ! Jika kau maju selangkah saja, aku akan langsung menusuk leher wanita ini!”

Ujarnya dengan tawa seperti iblis. Sekarang pergerakanku pun ikut terhenti, kecuali jika aku dapat bergerak cepat dan langsung membunuh mereka. Tetapi pastinya akan sulit ketika mereka mengerti pergerakanku dan langsung membunuh wanita tersebut.

“Ibu!”

“Airi! Pergilah, Sayang! Jangan khawatirkan ibu!”

“Tidak! Aku tidak ingin meninggalkan ibu!”

Ah, kenapa aku seperti melihat drama ya? Tapi tak apalah. Prioritasku kini adalah melakukan penyelamatan kepada wanita itu. Ya! Apa pun caranya!

“Emm, ibu! Jika aku membawa anakmu pergi dari sini dengan selamat, apakah kau mengizinkanku untuk menikahinya?”

“Ha? Itu tidak akan! Tapi, jika kau bisa menjaganya dengan baik, maka aku akan merestui kalian.”

“Apa yang sedang ibu bicarakan? Dan kau juga, Kagami! Kenapa kau malah berkata begitu?”

“He? Aku hanya ingin meminta restu dari calon mertuaku, apa itu tidak boleh?”

“Dasar Kagami, bodoh!”

Aku mendekatkan Device ke wajah dan memberi perintah kepada Alvis melalui bisikan. Kurasa mengulur waktu adalah hal yang paling tepat saat ini. Dengan begini, aku bisa menunda jadwal kematian ibu Airi.

“Hei, bocah! Apa yang sedang kau rencanakan? Cepat menyerah saja dari pada wanita ini harus terbunuh!”

“Bagaimana ini, Kagami?”

“Tenanglah, Airi. Kita tidak punya pilihan lain sekarang.”

“Tidak mungkin!”

Aku mulai bersikap biasa menghadapi mereka. Ketika mereka memintaku untuk membuang senjata yang mereka anggap aneh dan membahayakan. Aku melempar Charlotte ke depan, dan salah satu dari mereka mengambilnya tanpa ragu. Kini aku telah tidak bersenjata lagi.

“Berlututlah! Dan serahkan gadis itu kepada kami!”

“Ha? Kau menyuruhku berlutut atau menyerahkan gadis ini?”

“Berisik kau! Cepat lakukanlah!”

Aku mulai berlutut. Apakah kini penjagaan mereka mulai melemah? Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Salah satu dari mereka mendekati Airi dan hendak membawanya. Airi lalu bersembunyi di belakangku, dia meringkuk ketakutan, dan kini pria itu semakin mendekat.

“Jangan coba-coba menyentuhnya! Sword Rebirth! Alvis, sekarang...!”

“Shield, diaktifkan.”

Sebuah pedang besar tiba-tiba muncul menusuk tubuh pria tersebut, bersamaan dengan hal tersebut, sihir modern Shield telah diaktifkan dan muncul di sekitar tubuh ibu Airi. Pria di sampingnya terkejut melihatnya, dia tanpa ragu mengayunkan pedangnya ke arah wanita tersebut. Tetapi logam tersebut membentur keras pelindung itu hingga melontar balikkan serangan pria itu.

Seorang pria yang tadinya membawa Charlotte mulai menampakkan wajah ketakutannya. Dia mengarahkan pistol itu kepadaku, dan dugaanku benar. Pria tersebut menekan pelatuknya, seketika ledakan besar mencuat keluar dari Charlotte hingga mengenainya.

“Hahaha...! Asal kau tahu saja, Charlotte hanya bisa digunakan olehku! Dan jika orang lain mencoba menggunakannya, sistem pada pistol tersebut akan mengaktifkan sihir peledak.”

“Sialan kau bocah!”

Dua pria membahayakan itu terkapar di lantai. Aku memunculkan dua pedang besar dengan sihir alkimia. Keduanya kini telah berada di genggamanku. Tiga pria yang tersisa mulai merasakan ketakutan yang terlihat jelas dari raut wajah mereka.

“Cast Leap! First Step!”

Aku langsung menyerang salah satu dari mereka dengan pedang di tangan kananku hingga menembus tubuhnya.

“Second Step!”

Langkah keduaku berhasil menjatuhkan lawan yang lain dengan waktu begitu singkat. Pria yang sempat menyandera ibu Airi itu berlari ke arahku dengan mempersiapkan pedangnya. Dia mengayunkan dengan tekanan berat, meski agak sedikit lambat, tapi jika terkena pasti akan menimbulkan dampak besar kepadaku.

“Mati saja kau, bocah! Matilah! Matilah!”

Aku terus menerus menghindari serangannya. Bergerak secara zig-zag ke belakang, dia semakin mendekat dengan ayunan pedangnya yang tinggi.

“Boost!”

Segera kuberikan pukulan sekuat mungkin ke tubuhnya sebelum dia menyerangku, tetapi dia cukup pintar, pria tersebut menggunakan sisi lain pedangnya untuk menahan pukulanku dan hanya terdorong beberapa meter saja.

“Hahaha...! Kau boleh juga, bocah! Aku tidak tahu anugerah apa yang kau miliki, tapi anugerah milik tuanku tidaklah sebanding denganmu.”

Apa maksudnya? Anugerah? Apakah semacam pemberian dari Dewa? Terserahlah, setidaknya aku berhasil berada di tempat yang menjadi tujuanku. Menghindari serangan langsung seperti itu adalah hal mudah. Tapi aku memilih bertahan hanya untuk mendekati Charlotte yang dijatuhkan pria sebelumnya.

Aku mengambilnya dan mengubah pelurunya menjadi Paralyze, kurasa pria ini memiliki informasi yang cukup penting, aku tidak boleh membunuhnya. Pria tersebut kembali berlari ke arahku, tapi mendadak kobaran api muncul dan membakar tubuhnya.

Pria tersebut meronta-ronta kepanasan ketika api itu menelan seluruh tubuhnya. Dari yang kulihat, pola serangan sihir itu muncul dari Airi yang mencoba langsung menghabisi pria tersebut. Hmmm, padahal pria itu ‘kan memiliki informasi yang penting.

“Ibu!”

“Airi, anakku!”

Mayat pria itu langsung menjadi gosong seketika, lalu Airi berlari ke arah ibunya. Mereka saling melepas rasa khawatir dengan berpelukan. Ya, sungguh pemandangan yang dramatis. Boleh juga. Aku membantu Airi melepas semua ikatan di tubuh wanita itu. Wajah mereka sangat dipenuhi kebahagiaan, tawa yang merdu dan senyuman yang tulus terpampang jelas dari raut wajah keduanya. Inikah yang terbaik? Kurasa begitu ....


Posting Komentar

0 Komentar