Sihir biasanya terdapat dalam cerita fantasi dan dongeng belaka. Ilmu yang dianggap sesat tersebut dikatakan benar-benar ada. Tetapi penyihir yang sesungguhnya mengetahui ilmu tersebut dikatakan hampir punah sejak perburuan penyihir pertama di dunia sejak berabad-abad lalu. Di kala dunia ditutupi dengan kegelapan akan menyebarnya pandemi misterius yang tiba-tiba mengubah makhluk hidup, manusia mencoba merealisasikan sihir melalui teknologi modern.
Pasca pandemi yang menimpa umat manusia sejak tahun 2078, angka kematian mulai naik mencapai lebih dari 50% dari total populasi umat manusia setelah virus Regan menyebar ke seluruh dunia secara misterius. Hal tersebut memaksa manusia untuk dapat memusnahkan kehidupan tak lazim yang berkeliaran akibat virus yang tergolong ekstrem tersebut. Hingga pada akhirnya manusia berharap adanya keajaiban di dunia, tidak menutup kemungkinan hal paling mustahil di dunia, yakni sihir.
Percobaan demi percobaan menggunakan teknologi modern tak kunjung usai. Manusia memanipulasi kenyataan dan merusak hukum fisika dunia dengan bertumpu kepada sistem pemrograman teknologi sihir menggunakan rangkaian kode algoritme dan kardinal. Alhasil, manusia dapat menciptakan kemajuan besar pada bidang teknologi dan dapat menciptakan teknologi non-fisika yang sejak sepuluh tahun lalu disebut sihir modern.
Hingga saat ini tahun 2088, Manusia yang masih berada di ujung tombak kepunahan hanya dapat bekerja sama menggunakan teknologi sihir yang semakin hari telah disempurnakan. Oleh karena itu, setiap negara yang masih mampu bertahan di tengah krisis harus menyiapkan golongan muda mereka untuk siap bertarung melawan Astal hanya dengan menggunakan teknologi sihir modern yang telah disetujui pihak seluruh negara.
***
Di suatu ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya biru dari balik akuarium raksasa. Dua orang laki-laki saling bertatapan satu sama lain. Sudah lebih dari dua menit mereka bertukar pandang tanpa mengucap satu kata pun.
Terlihat pria tua dengan jas khusus berhiaskan sekian banyak medali menggantung di pakaiannya tengah duduk di kursi hitam pribadi. Sedangkan di hadapannya terlihat seorang remaja berumur sekitar tujuh belas tahun hanya berdiri tegap menghadapnya.
"Leon, kau mengerti 'kan kenapa aku memanggilmu kemari? Seharusnya kau telah mengetahui pesan darurat yang dikirim pihak militer Jepang kemari."
Pemuda berpakaian rapi lengkap dengan kemeja putih berdasi merah yang tertutup jas hitam dan celana hitam tersebut menggelengkan kepalanya.
"Awalnya aku menolak untuk tahu. Tetapi setelah kau memanggilku kemari, jelaskan semuanya!"
Pria tua tersebut menghela napasnya, dia menghisap sebatang rokok kemudian mengembuskan asap dari mulutnya.
"Pihak militer Jepang baru-baru ini menemui adanya tanda kehidupan Astal Stage 4 dan Stage 5 yang tanpa sengaja terekam kamera helikopter pengawas."
"Lalu? Apa yang salah?"
"Sudah sekitar enam bulan ini para Astal tidak muncul di wilayah mereka, dan baru-baru ini pula mereka kembali menampakkan wujud. Sayangnya ketika menampakkan diri, mereka telah berada di Stage 4 ke atas. Tentunya hal ini meresahkan para petinggi pemerintah Jepang."
Remaja bernama Leon tersebut memejamkan matanya, perlahan dia kembali membuka kelopak matanya dan ikut menghela napas.
"Kemudian mereka meminta penambahan pasukan dari negara kita?"
Pria tua tersebut mengangguk. "Aku tidak bisa terus mengirim banyak pasukan kita untuk selalu membantu mereka. Karena dari itu, tolong pinjamkan sedikit kekuatanmu, Leon!"
"Hanya untuk itu Anda memanggilku ke ruangan pribadi ini, Jenderal Besar M. H. Rudi Nasution?"
"Kumohon! Jika aku tetap mengirim prajurit biasa ke sana, hal itu hanya akan mengurangi jumlah populasi manusia. Maka dari itu aku memohon dengan segenap hati kepadamu, Leon."
"Jika hanya itu Anda dapat langsung memberi perintah kepadaku dan langsung memberangkatkanku. Sebagai prajurit NKRI, aku memang harus siap ditugaskan dalam berbagai misi seperti ini."
"Tetapi, Leon. Kali ini aku memintamu bukan sebagai atasan, melainkan sebagai ...," katanya, terdiam.
Pemuda tersebut kemudian membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu keluar. "Aku tahu tugasku, kapan aku akan berangkat?" kata Leon, bertanya.
Pria tua tersebut menunduk lesu. "Aku telah menyiapkan pesawat pribadi untukmu di Bandara Soekarno Hatta, kau bisa berangkat kapan saja secepatnya."
"Aku akan menemui ibuku terlebih dulu, mungkin aku akan berangkat besok pagi."
Pria tua tersebut bangkit dari tempat duduknya. Tersenyum puas dengan wajah yang telah bergelimang air mata. Rasa terima kasihnya seakan tidak cukup hanya sekadar diucapkan melalui sepatah dua patah kata.
"Masih ingat dengan bahasa Jepang yang diajarkan oleh ibumu 'kan?"
"Tentu saja! Aku masih dapat membedakan kosakata dari lima bahasa yang telah kupelajari."
"Syukurlah! Kalau begitu tolong sampaikan salamku untuk ibumu juga!"
"Tentu saja, ayah," katanya, tersenyum. Pemuda tersebut kemudian membuka pintu dan keluar begitu saja.
Keesokan harinya sekitar pukul enam WIB, Leon berada di landasan pacu. Dia menoleh ke belakang, memerhatikan ibu dan ayahnya dari kejauhan. Sang ibu hanya dapat melambaikan tangannya, sedangkan ayahnya memberi hormat serta senyuman kepercayaan untuk anaknya tersebut.
Leon mulai menaiki pesawat jet pribadinya dan tinggal menunggu pesawat tersebut lepas landas. Setelah lebih kurang enam jam kemudian, Leon tiba di bandara internasional Kansai. Dia mulai turun dari pesawatnya, tidak jauh terlihat sebuah limosin hitam dan seorang pria dengan setelan hitam. Leon mendekatinya, lalu pria tersebut terlihat memberi hormat kepadanya.
"Leonhart Tjandra Kiriyama?"
"Ya, aku sendiri."
Pria tersebut lantas membukakan pintu mobil tersebut. "Silakan masuk, Leonhart-sama!" katanya, mempersilakan. Setelah masuk ke dalam mobil tersebut, dia kembali harus menempuh perjalanan sekitar beberapa menit untuk menuju sekolah barunya yang berada di Kyoto.
Beberapa saat kemudian, dia turun dari mobilnya dan berada di depan gerbang sebuah bangunan raksasa nan megah selayaknya istana kerajaan. Leon mulai melewati gerbang tersebut, tidak lama setelahnya datanglah seorang pria berseragam militer berwarna hijau tua yang kemudian memberi hormat kepadanya.
"Selamat datang di Sekolah Tinggi Sihir Akashic. Saya Letnan Dua Yamauchi Kotada."
Leon membalas hormatnya. "Leonhart Tjandra Kiriyama," katanya, memperkenalkan diri.
"Saya akan memberi detail informasi mengenai sekolah ini, jadi ikutlah saya, Leonhart-sama!" katanya. Leon mengangguk, kemudian mengikuti pria tersebut.
Di dalam sebuah ruangan besar yang penuh dengan peralatan canggih, Leon memerhatikan dengan baik setiap benda yang ia lewati. Dia kemudian duduk di sebuah sofa panjang setelah di persilakan oleh orang tadi.
"Apakah permintaan atas hak khusus yang Anda miliki saat ini? Kami akan berusaha semampu mungkin untuk melaksanakannya."
"Pertama, aku ingin tahu. Bagaimana pembagian kelas menurut ketentuan sekolah ini?"
Yamauchi mengangguk. "Sekolah ini memilik dua sistem kelas yang dibagi menurut kemampuan sihir yang di miliki siswa dan siswi. Dua kelas tersebut terbagi atas kelas Alpha dan kelas Omega, di mana pengurutannya berdasarkan kemampuan penggunaan sihir modern melalui tes sebelumnya."
Leon mengerutkan keningnya. "Pembagian kelas tersebut tertuju pada pembagian kualitas dan kuantitas atau hanya sekadar sebuah manipulasi diskriminasi sosial?"
Terlihat jelas Yamauchi terkejut ketika Leon menanyakan hal tersebut. Dia menelan ludahnya sendiri, kemudian perlahan mulai membuka mulutnya. "Maaf, Leonhart-sama. Saya tidak memiliki hak untuk menjawab pertanyaan tersebut," katanya, tertunduk lesu. Dia tak dapat berkutik ketika Leon memperlihatkan ekspresi seriusnya.
"Lalu yang kedua, pastinya ada sistem rangking yang membedakan potensi dari masing-masing murid. Bagaimana cara sekolah ini membedakannya?"
Yamauchi kembali mengangkat kepalanya, dia kembali tersenyum mendengar pertanyaan kedua yang diajukan oleh Leonhart.
"Kami menggunakan sistem pangkat yang menentukan regu dari setiap kelas Alpha dan Omega. Pangkat tersebut mereka dapatkan dengan cara menjalankan misi dari sekolah ini."
Leon kembali mengerutkan keningnya. "Misi? Misi seperti apa?" katanya, penasaran.
"Misi dapat berupa misi penyelamatan, misi memburu Astal dan misi lainnya sesuai keinginan pihak sekolah atau pemerintah. Sekolah ini memiliki tujuan menghasilkan tentara penyihir berbakat yang akan membantu tentara pemerintah melawan Astal yang berkeliaran bebas, serta menghabisi para mayat hidup itu."
"Baiklah, sementara itu cukup. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
"Silakan, Leonhart-sama."
"Tolong ubah namaku agar lebih mudah diucapkan!"
"Baiklah, Anda dapat menuliskannya di kertas formulir ini, Leonhart-sama."
Leon kemudian mengisi daftar formulir untuk menjadi murid sekolah tersebut. Setelah selesai melakukan pengisian data, dia memberikan kertas tersebut kepada Yamauchi.
"Baiklah, Kagami Kiriyama-sama. Apakah Anda membutuhkan hal lain?"
"Aku dengar Jepang memiliki senjata sihir modern yang canggih. Bisakah kau memberiku pistol Dual Wyvern A55 dengan peluru sihir bertenaga baterai?"
"Ya, kami telah menyiapkannya. Sesuai dengan perintah Jenderal Besar M. H. Rudi Nasution tempo hari."
"Wow, ternyata ayah sangat tahu apa yang anaknya inginkan," kata Leon, dalam hati.
Setelah Yamauchi memberi perintah salah satu orang yang berada di dekat pintu ruangan tersebut, beberapa menit kemudian ia kembali dengan sebuah koper hitam dan langsung menyerahkannya kepada Leon. Ketika Leon membukanya, dia sedikit terkejut melihat dua buah pistol semi-automatic dengan warna merah bergaris emas dan hitam bergaris ungu. Dia kemudian menerima koper tersebut beserta holster dada yang diberikan kepadanya.
Leon kemudian berdiri dan menghadap Yamauchi. "Baiklah, dengan ini aku, Kagami Kiriyama siap bertugas di akademi Akashic."
Yamauchi tersenyum. "Ini memang bukan sepenuhnya akademi, tetapi nama itu keren juga. Terima kasih atas kerja samanya, Kagami-sama," katanya, mengulurkan tangan. Kemudian Leon menjabat tangannya.
Setelah menyelesaikan beberapa urusan kecil, Kagami berjalan di lorong asrama sekolah tersebut. Sambil memegangi kertas di tangan kanan, dia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk menemukan ruangan tempatnya beristirahat.
"469, 470, 471. Nah, semoga ini ruangannya."
Kagami memutar gagang pintu tersebut dan mendorong perlahan pintu tersebut. Terlihat sebuah ruangan besar dengan berbagai fasilitas mewah dalam satu ruangan penuh seperti ruangan keluarga. Dia melangkahkan kakinya, memasuki ruangan tersebut. Kedua matanya tertuju ke arah sebuah pintu bertuliskan 'Male Room' di sisi kanan dan membukanya. Ruangan tersebut berisi tiga buah tempat tidur kecil.
Kagami menaruh tasnya, lalu berbaring di kasur yang berada paling kiri dan paling dekat dengan jendela kamar tersebut.
"Wah, siapa sangka di dalam ruang sebesar tadi masih ada kamar seperti ini. Kurasa lebih enak jika bermalas-malasan sebentar."
Tanpa sadar Kagami menutup kedua matanya dan tertidur begitu saja. Beberapa jam berlalu dengan cepat, perlahan Kagami membuka matanya. Samar-samar dia melihat empat wajah seseorang yang tak dikenalnya mengelilingi pandangannya. Setelah mengedipkan mata beberapa kali, kedua matanya kembali fokus seperti normal dan dapat melihat dengan jelas lagi.
"Uwahh!!"
Akibat terkejut dia melompat dan terjatuh di lantai. Sontak hal tersebut membuat keempat orang lainnya ikut terkejut dan berteriak. Setelah cukup tenang, Kagami melihat baik-baik situasinya. Dia melihat dua pasang laki-laki dan perempuan berseragam putih bergaris biru memandangnya dengan tatapan aneh.
"A-anu, kau siapa? Kenapa bisa masuk ke asrama regu kami?" kata gadis berambut hitam panjang.
"Benar! Cepat jelaskan! Jangan-jangan kau pencuri ya?" ucap gadis berambut kuning, membentak.
Dua gadis di sisi kanan tersebut lebih agresif untuk berbicara terlebih dahulu daripada dua laki-laki di sisi lain. Tetapi dua laki-laki itu terlihat menyiapkan senjata masing-masing berupa pistol dan katana yang telah di arahkan kepadanya. Kagami mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum lebar seakan dirinya pasrah ketika dituduh menjadi pencuri. Selama beberapa menit kelimanya hanya saling bertukar pandang tanpa ada gerakan aneh. Kedua laki-laki itu kemudian menyimpan kembali senjatanya, lalu mendekati Kagami.
"Tenanglah, kawan! Kami tahu kau bukan pencuri," katanya, mengulurkan tangan dan membantu Kagami berdiri.
"Ya, Hanabi-san telah mengatakan kepada kami bahwa akan ada murid baru yang akan bergabung dengan regu kami."
Kedua laki-laki itu kemudian merangkul Kagami sebagai salam pertemanan. Ketiganya kemudian tertawa dan melupakan kejadian mengejutkan tadi. Dua gadis itu juga hanya tersenyum menyambut kedatangan Kagami dengan kejahilan mereka berempat.
"Baiklah, bukankah lebih baik kita segera menemui ketua?" ucap gadis berkaca mata itu.
"Kau benar juga."
Mereka kemudian keluar dari kamar tersebut, berkumpul di ruang tengah yang biasa mereka gunakan. Di sekolah ini, meski telah memakai sistem pembagian kelas, tetapi setiap kelas masih terbagi menjadi beberapa regu. Setiap regu berisi setidaknya empat sampai enam orang.
Seorang gadis cantik berambut ungu panjang tiba-tiba datang sambil membawa secangkir minuman. Dia terlihat lebih kaku dari keempat anggota lainnya yang telah mencoba akrab dengan Kagami.
"Hmmm, jadi kau adalah murid pindahan itu, ya?"
Kagami kemudian berdiri dan memberi hormat seperti tentara. "Benar, namaku Kagami Kiriyama, dan pangkatku," katanya, terhenti ketika gadis bertopi militer itu menyentuh bibir Kagami dengan jari telunjuknya.
Kedua laki-laki di samping Kagami terlihat tersenyum pahit. Sedangkan kedua gadis lainnya seperti menahan rasa malu dengan wajah yang sedikit memerah.
"Aku tidak percaya ketua bisa tiba-tiba menjadi romantis seperti itu, hehehe."
"Ka-kau salah! Bukan begitu maksudku! Cih, aku hanya menggodanya saja, tapi kenapa sifatnya biasa saja," kata Hanabi, memalingkan wajahnya.
"Dengar baik-baik! Regu kita ini berada di kelas Omega, jadi kau tidak perlu menyinggung mengenai pangkatmu! Kami bisa mengerti perasaanmu, kami semua juga masih berpangkat rendah, mengerti?" katanya, melanjutkan.
Kagami mengangguk disertai senyum puas yang menghiasi wajahnya. Hanabi duduk di sofa, sambil sesekali menyeruput minumannya yang masih mengeluarkan uap panas.
"Namaku Hanabi Kazuki, aku adalah ketua regu ini. Laki-laki di samping kananmu adalah Mizuki Hagura dan Hanzama Misaki. Lalu dua gadis cantik di kirimu itu adalah Hikari Aimori dan Tohsaka Yuuki."
Mereka saling berkenalan satu sama lain, Kagami dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya, meski dia berasal dari negara lain, tetapi tidak ada yang menyadari dengan kefasihannya dalam berbahasa Jepang. Di saat mereka tengah asyik berbincang satu sama lain, Hanzama tiba-tiba berdiri penuh semangat.
"Ketua! Bagaimana jika kita pergi ke tempat simulasi dan berlatih bersama? Kita 'kan baru saja mendapat anggota baru, jadi kita harus mengetahui kemampuannya untuk dapat menyusun strategi baru!"
Mizuki yang awalnya terkejut kemudian ikut berdiri. "Han benar, Ketua. Ini bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk melihat kemampuannya!"
Hanabi memejamkan matanya, memikirkan ucapan kedua laki-laki tersebut, dia kemudian menatap Kagami. Mengetahui maksud ketuanya tersebut, ia pun mengangguk menyetujui keinginan kedua rekan barunya tersebut.
Mereka kemudian pergi menuju ruang latihan. Tempat tersebut berbentuk seperti tabung dengan diameter lima puluh meter dan hanya berupa ruang kosong. Sang operator mulai menyalakan mesin simulasi, perlahan arena tersebut berubah menjadi jalanan yang berada di tengah kota.
"Jadi seperti ini ya simulasi bertarung di Jepang?"
"Oh iya, kau berasal dari Indonesia 'kan? Apakah di sana tidak memakai simulasi seperti ini?"
"Tidak, kami lebih menekankan pada pertarungan nyata melawan Astal."
"Oh, jadi kau telah terbiasa melawan Astal, ya?"
"Ya, bisa dibilang begitu."
Beberapa Astal berwujud hologram mulai bermunculan dengan bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Mereka berenam mulai membentuk formasi melingkar.
"Kagami-san, kita akan menggunakan formasi A, yakni kelima anggota akan membentuk segi lima dan melindungi Tohsaka-chan yang bertugas sebagai penyembuh," kata Hanabi, menjelaskan.
"Penyembuh? Apakah dia pengguna sihir kuno?"
"Tepat! Kau pasti terkejut 'kan?"
"Tentu saja!"
Mereka berlima kemudian membentuk formasi yang telah ditetapkan dan bersiap melawan Astal yang mulai berdatangan ke arah mereka.
Latihan simulasi tersebut berlangsung selama lima belas menit, setelah waktu habis secara otomatis mesin simulasi akan berhenti dan mereka keluar dari ruangan tersebut. Mereka saling berbincang dan bercanda bersama untuk melepas penat.
Regu tersebut berjalan melewati Mission Counter, sebuah tempat untuk mengambil misi yang disediakan dari operator sekolah Akashic. Tepat di depan Mission Counter, terjadi sebuah keributan kecil, bahkan tempat tersebut juga sedikit dipadati beberapa murid dari kelas Alpha dan Omega.
"Ketua, apa yang terjadi di sana?" kata Kagami, bertanya."
"Entahlah, ayo kita ke sana!"
Kagami dan lainnya mendekat, di sana terdapat seorang gadis yang memohon-mohon kepada murid dari regu lain. Dilihat dari emblem berbentuk bintang emas, dapat diketahui bahwa gadis berambut coklat pendek tersebut berasal dari kelas Alpha. Cara membedakan kelas Alpha dan Omega begitu mudah, yakni pada emblem di lengan seragam mereka, jika kelas Alpha memiliki emblem bintang emas, maka kelas Omega adalah bintang perak. Dia beberapa kali menarik pakaian murid lain sambil memohon kepada mereka.
"Kumohon! Selamatkan teman-temanku! Mereka dalam bahaya besar! Aku mohon kepada kalian!"
Gadis tersebut tidak henti-hentinya memohon, tetapi tidak seorang pun menanggapinya, mereka terlihat lesu dan hanya dapat menunduk sedih. Meski beberapa dari mereka berasal dari kelas Alpha dan dapat dibilang kuat, tetapi mereka terlihat sangat takut untuk menolong gadis tersebut. Melihat situasi yang semakin tidak karuan, Kagami hanya memperhatikan, kedua matanya melirik ke sekian banyak wajah sedih di depannya. Tidak lama kemudian dia mendekati Hanabi.
"Ketua, apa yang terjadi?"
"Aku telah bertanya pada operator, dia bilang gadis tersebut bersama regunya mengambil misi tingkat C untuk berlatih."
"Misi apa itu?"
"Pemusnahan Astal Stage 2, tetapi mereka bilang tiba-tiba muncul Stage 4 dalam jumlah banyak. Hanya gadis itu yang berhasil kembali kemari dengan selamat, selebihnya kita tidak mengetahuinya."
Kagami menunduk sesaat, memikirkan sesuatu yang membuat regunya ikut penasaran.
"Ada apa, Kagami?" kata Mizuki, penasaran.
"Kalian ingin berlatih secara nyata 'kan? Mau kuajari?"
"Apa kau gila? Kita tidak mungkin dapat melawan Stage 4!"
Hikari langsung memprotesnya begitu saja. Sudah menjadi rahasia umum jika kelas Omega tidak mampu melawan Stage 4 meski dalam jumlah banyak. Kagami menghela napasnya, lalu dia mendekati gadis yang sejak tadi masih menangis di tengah kerumunan tersebut. Laki-laki tersebut menyentuh pundaknya penuh perasaan.
"Apa kau mengetahui di mana lokasi regumu?"
Dia hanya mengangguk lemas, perlahan dia mendongak dan melihat ke arah Kagami.
"Percuma, kelas Alpha seperti kami saja tidak mampu melawan mereka, kau yang berada di kelas Omega tidak perlu membahayakan nyawamu sendiri," katanya dengan nada rendah.
Kagami menepuk lagi pundak gadis tersebut. "Jangan begitu, katakan saja! Aku akan meminta bantuan kepada murid yang cukup kuat untuk menyelamatkan teman-temanmu!"
Gadis tersebut tersentak kaget. "Hah? Benarkah? Kau mengenal orang yang cukup kuat untuk pergi ke sana?"
"Percayalah kepadaku!" kata Kagami, sembari mengedipkan mata kanannya.
"Namaku Maia Nobunaga, dan mereka saat ini mungkin berada di Toyonaka."
Dia menelan ludahnya, kedua matanya berkaca-kaca ketika Kagami berhasil meyakinkannya dengan meminta bantuan orang lain. Tetapi siapa yang mampu? Rata-rata pangkat murid di sekolah tersebut masih di bawah Sersan.
Operator itu kemudian melacak lokasi regu tersebut dengan memanfaatkan Device mereka. Benda tersebut berbentuk menyerupai gelang selebar lima senti dan berada di tangan setiap anggota regu, dengan kata lain setiap murid wajib memilikinya, fungsi benda tersebut adalah sebagai alat komunikasi modern. Setelah beberapa saat, muncul peta hologram di depan operator tersebut yang menunjukkan detail lokasinya.
"Ketua!"
Hanabi melihat tatapan tajam Kagami yang membuatnya terbujur kaku.
"A-apa maksudmu? Kau menyuruhnya untuk membawa regu kita ke sana? Kau sudah gila, Kagami-san?" ucap Hikari, menaikkan nada suaranya.
Suara gaduh yang terdengar lebih menuju ke arah hinaan mulai terlontar dari murid lain. Hanabi tiba-tiba berteriak dengan lantang, mengambil perhatian seluruh murid agar lebih tenang dalam situasi yang tengah memanas.
"Aku yakin kau memiliki rencana sendiri 'kan, Kagami-san?" kata Hanabi.
Gadis tersebut kemudian mendekat ke arah operator dan memberi ID miliknya agar mendapat izin untuk menjalankan misi penyelamatan. Tetapi operator tersebut menolak dengan alasan pangkat Hanabi yang belum mencukupi standar untuk melawan Stage 4. Tiba-tiba Kagami mendekat ke meja operator dan memukulnya.
"Kalau begitu biarkan aku yang menjadi Ketua sementara dari regu 471, ID milikku adalah Kagami Kiriyama!"
Operator tersebut mulai memproses data yang diberikan, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat pasi dan perlahan mulai berkeringat.
"ID berhasil diverifikasi, regu Anda dapat berangkat sekarang."
"Kenapa kau bisa mendapatkan aksesnya, Kagami-san? Siapa kau sebenarnya?" ucap Hanabi, terperangah.
Kagami tak menggubrisnya dan hanya memutar tubuhnya, lalu berjalan meninggalkan meja operator tersebut.
"Tunggu, Kagami-san!" ucap Hanabi, berteriak. Lalu Kagami menoleh ke belakang.
"Kau melupakan Device dan seragammu, jangan sampai misi pertama ini membuatmu gugup, ya," ucapnya, melanjutkan.
Hanabi memberikannya, kemudian pergi mengikuti Kagami ke arah pintu keluar, membiarkan sekian banyak pasang mata menatap aneh dan terdiam. Mau atau tidak, terpaksa keempat anggota lainnya juga harus ikut bersamanya. Dari helipad sekolah mereka kemudian mengudara ke arah utara, menuju ke Toyonaka menggunakan helikopter pengangkut barang.
"Kenapa wajahmu memerah, Hanabi-san?"
"Dasar bodoh! Itu karena kau mengganti pakaianmu di dalam helikopter ini!"
"Hmmm, mau bagaimana lagi, aku tidak ingin membuang-buang waktu."
Hanabi menoleh ke arah lain, masih dengan ekspresinya yang tersipu malu.
"Kagami-san! Kenapa kau bersikeras ingin menolong gadis itu? Lagi pula siapa yang kau minta bantuan untuk melawan Stage 4 nanti?" kata Hikari.
"Aku hanya tidak ingin Maia-san kehilangan anggota keluarganya. Lalu, untuk orang yang aku minta itu, hanya omong kosong," katanya, tertawa pahit.
"Apa? Dasar bodoh! Lalu bagaimana cara kita melawan Stage 4 nanti?"
"Entahlah."
"Hah?"
Setelah sampai di Toyonaka, helikopter tersebut terlihat berkeliling sesaat.
"Kagami-san? Dari lokasi ini, sepertinya mereka berada di dalam rumah sakit Sawa," kata Hanabi, menunjukkan lima segitiga hijau di peta hologram yang muncul dari Device-nya.
Kagami hanya mengangguk sembari melihat ke bawah dari jendela. Di bawah hanya terlihat kota mati yang berantakan, dengan banyak kendaraan rusak serta puing-puing bangunan yang telah berhamburan ke setiap sisi jalan.
"Kita cari tempat yang lebih aman untuk mendarat!"
"Baik, Ketua!" ucap salah satu pilot.
Helikopter tersebut mendarat di salah satu tanah lapang. Satu persatu dari mereka mulai turun dan menyiapkan senjata sihir mereka masing-masing.
"Teman-teman? Kita gunakan formasi A seperti saat latihan tadi!" kata Kagami, mengeluarkan pistolnya.
"Siap!" ucap mereka serentak.
Mereka berenam mulai berjalan menuju rumah sakit tersebut dari arah selatan. Hanabi memegang tombaknya dan berada di depan. Hanzama dan Kagami yang menggunakan pistol berada pada dua sisi di belakang Hanabi, di tengah terdapat Tohsaka dengan buku tebal usang. Sedangkan Hikari membawa sniper rifle berada di sisi kanan, tepat di belakang Kagami, dan Mizuki membawa katana berada di sisi kiri belakang.
Beberapa manusia mulai bermunculan dari balik bangunan tua yang setengah roboh, mereka berjalan lambat mendekati regu tersebut.
"Sekarang! Hanabi-san, Mizuki-san! Kuserahkan pertarungan jarak dekat pada kalian. Aku dan Han akan membantu dari belakang!"
"Siap!" ucap keduanya, serentak.
Hanabi mulai berlari ke arah mayat hidup itu dan menebas mereka dengan tombaknya tanpa ampun. Mizuki pun terlihat sangat menikmati pertarungannya, dia pun menghunuskan katananya tepat di leher mereka, sehingga tidak dapat kembali bangun.
"Ketua! Sampai kapan kita harus melawan mereka?" kata Mizuki, berteriak.
Sebuah peluru yang mengeluarkan percikan petir melesat tepat di depan wajah Mizuki, dia tahu peluru tersebut berasal dari Kagami yang mengarah pada lawan mereka, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki berambut coklat tersebut terkejut dengan kedatangan serangan bantuan tersebut.
"Tunggulah sebentar lagi! Beberapa meter lagi kita dapat mendekati rumah sakit tersebut!"
Sembari berlari pelan, mereka juga menyerang kumpulan mayat hidup tersebut. Tetapi hal yang lebih merepotkan mulai ikut berdatangan. Segerombolan Astal setinggi lebih kurang dua meter terlihat mendekat.
"Stage 2! Bersiaplah!" kata Kagami, meninggikan nada suara.
Kagami menembak tepat ke arah kepala Astal yang berdatangan, bagaikan mangsa di tengah sarang hewan buas. Mereka semakin dikerumuni para Astal dalam jumlah banyak.
"Han! Gunakan peluru mega sonik untuk menjauhkan mereka! Aku yang akan menahan gravitasinya!"
"Dimengerti, Ketua!"
Pistol keduanya terkokang otomatis ketika mereka menyebutkan aktivasi sihir yang akan digunakan.
"Megasonic bullet!"
Pistol milik Han terkokang secara otomatis, kemudian mengerluarkan suara dari sistem. "Change bullet, complete."
Hal serupa pun dilakukan oleh Kagami. Dia mendekatkan pistol di tangan kanannya ke wajahnya. "Gravity bullet!"
Suara yang sama pun muncul dari pistol tersebut setelah terkokang otomatis. Kagami dan Hanzama secara bersamaan mengarahkan pistol mereka ke bawah. Setelah menekan pelatuknya, dua buah lingkaran sihir kuning dan biru muncul. Tubuh mereka berenam tiba-tiba menjadi sangat berat dan tertarik ke bawah, dan dalam waktu yang bersamaan sebuah gelombang kejut muncul dan menyebar.
Melempar makhluk-makhluk itu jauh ke belakang masing-masing, bahkan karena terlalu kuat, dinding yang masih berdiri kokoh terlihat mengalami keretakan, puing-puing beterbangan menjauh dengan cepat.
"Semua baik-baik saja?"
"Ya, begitulah, tak kusangka kau memiliki ide sebegitu gila," kata Hikari, menyindir.
Kagami memperlihatkan wajah masamnya, kemudian kembali berdiri. Mereka pun segera melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit Sawa yang berada kurang dari seratus meter di depan mereka. Cahaya aneh terlihat memantul dari jendela, regu tersebut menyadari dan melihat ke arah itu.
"Mereka berada di lantai tiga? Kenapa tinggi sekali?" ucap Kagami, mengeluh berat.
"Baiklah, sekarang apa rencanamu, Ketua sementara? Seperti yang kau lihat, Stage 3 mulai berdatangan. Aku takut jika Stage 4 akan muncul sebelum kita berhasil menyelamatkan mereka," kata Hikari, menggoda.
Kagami menggeram, dia kemudian berlari ke arah rumah sakit tersebut dan meninggalkan regunya.
"Hanabi-san kuserahkan sisanya kepadamu! Gunakan formasi B!"
Melalui Device-nya, Hanabi menghela napasnya. Terpaksa dia harus kembali memegang kendali regunya untuk menahan para Stage 3 di saat Kagami berusaha menyelamatkan mereka.
Kagami berlari bagai kilat, melewati para Stage 3 yang mencoba menghadang jalannya. Tetapi dengan sihir Leap, dia bergerak mendekat dengan cepat. Setelah sampai di rumah sakit, dia langsung bergegas masuk ke dalam. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat beberapa Stage 2 berkeliaran di dalam rumah sakit tersebut, mulai dari lantai satu.
Kagami menembaki Astal itu dengan peluru sihir, tetapi hanya dapat membuat mereka terjatuh lemas dan tak membunuhnya. Dia mulai naik ke lantai dua, di saat itulah mereka berpapasan dan saling menodongkan senjata masing-masing.
"Ketua sementara regu 471, Kagami Kiriyama."
"Oh, kelas Omega, ya? Berani juga kalian datang menyelamatkan kami. Aku ketua regu 311, Yuguri Hamura."
"Ketua, sekarang bagaimana?" ucap salah satu anggota regu 311.
"Tenanglah, semua sudah kami siapkan, kita harus cepat pergi dari sini!" kata Kagami.
Mereka kemudian segera keluar dari rumah sakit tersebut. Tetapi belum mencapai pintu keluar, Kagami mendapat pesan suara dari Device-nya.
"Kagami-san! Cepat keluar dari rumah sakit itu! Cepatlah!"
Mereka dengan segera melalui pintu keluar. Sembari berlari dan menyerang para Astal, mereka menuju ke regu 741.
"Kagami-san! Awas di belakangmu!"
Teriakan Hanabi itu lantas membuat mereka terdiam sejenak. Mereka menoleh ke belakang, tepat saat itu, bayangan hitam raksasa terlihat bergerak pelan dan akan menghantam rumah sakit tersebut.
"Sial! Kenapa malah Stage 5 yang muncul?"
Astal raksasa yang bahkan lebih tinggi dari gedung empat lantai itu mendekat. Semua orang mulai berkeringat dingin dan gemetar ketika melihat monster tersebut. Begitu juga Kagami yang terbujur kaku menatap Astal tersebut.
Jauh di belakang Astal tersebut, sosok misterius berjubah coklat berdiri di atas puncak tiang bendera. Mengamati baik-baik ke arah manusia yang nasibnya tidak diketahui lagi.
"Sekarang, bagaimana langkah selanjutnya yang kau pilih, Leon? Hahahaha!"

0 Komentar