Kagami tertegun, begitu juga anggota regu yang baru saja ia selamatkan. Pasalnya saat ini tepat di depan mata mereka muncul makhluk raksasa yang telah siap menerkam mereka. Sebuah benda menerjang ke bawah dengan cepat dan tepat mengarah ke kerumunan tersebut. Kagami mengarahkan pistol di tangan kanannya dan menekan pelatuknya.
Lalu sebuah perisai sihir muncul, membentuk kubah raksasa yang menahan benda misterius yang berusaha menerjang mereka. Akibatnya, semua orang dalam regu tersebut terlempar ke belakang cukup jauh. Bahkan hanya mendapat gelombang kejut itu saja, regu 471 ikut kesusahan mempertahankan diri mereka.
Regu 311 mencoba kembali berdiri, saling membantu dan berusaha melarikan diri menuju regu 471. Setelah mereka berhasil berkumpul, terlihat kebahagiaan terpancar sesaat di wajah mereka.
“Kagami-san? Apa kau baik-baik saja? Apa kau terluka?” kata Hanabi, cemas.
Kagami menyentuh kedua pundak Hanabi dan mencoba menenangkannya, “aku tidak terluka, Hana-san, tenanglah!”
Hanabi memalingkan wajahnya yang tersipu, “ke-kenapa kau memanggilku Hana?”
Kagami tersenyum, “itu lebih mudah untuk diucapkan. Ayo! Sebaiknya cepat kembali ke helikopter!” katanya, memberi perintah.
Kedua regu itu berlari secepat mungkin menuju ke landasan. Merasa janggal dengan jumlah anggota yang tengah berlari saat itu, Hanabi menoleh ke belakang. Dia mendapati Kagami tengah berdiri tegap memegang kedua pistolnya, berusaha menghadapi Astal tersebut sendirian. Gadis tersebut sontak langsung berbalik arah, tanpa memedulikan orang lain yang mencoba menghentikannya.
Dia berhasil kembali ke sisi Kagami dan ikut menatap Astal di depannya dengan percaya diri. Kagami terkejut akan kedatangannya yang mendadak.
“Hana-san? Kenapa kau kembali?” katanya, terkejut.
Namun gadis itu tersenyum seakan tidak ada penyesalan pada tindakannya. “Karena kau masih di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” katanya, sembari menggembungkan pipinya.
“Ha? Kau pikir ini lelucon? Makhluk itu sangat berbahaya! Kau harus segera kembali! Ini perintah dari ketuamu!” kata Kagami, jengkel.
Hanabi menolehkan kepalanya, dia menetap tajam kedua mata Kagami. Perlahan gadis itu mendekatinya, tangan kanannya terangkat pelan dan mendarat dengan halus di wajah Kagami.
“Kau ini hanya ketua sementara! Akulah ketuamu yang sesungguhnya!” kata Hanabi, menaikkan nada suaranya. “Lagi pula tidak mungkin aku meninggalkanmu, kau ‘kan salah satu anggota keluargaku. Jika aku membiarkanmu mati begitu saja, di mana tanggung jawabku sebagai pemimpin regu ini?” ucapnya, melanjutkan.
Kagami tersentak kaget mendengar ucapan Hanabi, tak sekali pun ia memikirkan perasaan orang lain ketika mengambil keputusan yang dirasa Hanabi saat ini sangat berat. Laki-laki itu tersenyum, dia menyentuh tangan Hanabi dan menurunkannya perlahan. Seolah mendapat kepercayaan yang tinggi, Hanabi menyiapkan senjata sihirnya berupa tombak trisula.
Mereka menatap bengis ke arah Astal yang saat ini tengah merayap dengan empat kakinya. Makhluk yang dapat di bilang hasil mutasi genetik itu memiliki tiga ekor panjang yang dapat menebas mereka kapan saja.
“Aku akan langsung menyerangnya,” kata Kagami.
“Ya, aku juga akan melakukannya!”
Mereka berlari menuju Astal tersebut, langsung dari arah depan. Entah strategi apa yang telah keduanya siapkan, tetapi mengalahkan Stage 5 terasa seakan hanya sebuah ilusi bagi kedua murid kelas Omega tersebut. Menggunakan peluru listrik tegangan tinggi dia menembaknya tepat di bagian kaki Astal tersebut dan berhasil membuatnya lumpuh sementara.
Hanabi mulai mendekat, dia mengaktifkan sihir pada tombaknya, lalu melompat ke atas tubuh makhluk yang tengah terbaring itu. Tetapi bukan berarti bahaya tidak mengintainya, salah satu ekor Astal tersebut mengincarnya. Dengan kecepatan yang tinggi kibasan itu mengarah kepada gadis tersebut, tetapi dengan sigapnya perempuan itu memotongnya. Kemudian dia menancapkan tombaknya ke tubuh monster itu.
Setidaknya berhasil melukai, itulah harapan terbesarnya, meski dia tidak sadar bahwa serangannya jauh lebih baik dari yang dibayangkan. Setelah saling memberi serangan yang cukup berdampak, keduanya kembali berkumpul dan sedikit menjauh dari monster itu. Tetapi bukan monster namanya jika tidak dapat melawan hal kecil seperti mereka. Astal itu tiba-tiba bangkit dan mendekat, lalu dengan cepat mengibaskan kedua ekornya dari samping, tepat ke arah Kagami.
Hanabi tiba-tiba mendorong tubuh laki-laki itu dan berhasil menghindarkannya dari kematian meski hanya setipis kertas, dan sebagai gantinya ia terpaksa menerima telak serangan Astal tersebut. Tubuh Hanabi terlempar dan menghantam dinding bangunan, tetapi sebelum tubuhnya menerima dampak kedua, Kagami berhasil melepaskan peluru perisai yang ikut menahan serangan ekor makhluk tadi, terlihat sekilas sebuah perisai berbentuk lingkaran melindungi Hanabi.
Hikari dan Tohsaka yang telanjur panik hanya dapat meneriakkan nama dari kedua temannya tersebut. Perasaan tidak menentu menyelimuti hati mereka, rasa takut akan kehilangan meresap hingga ke dalam jiwa mereka. Mendadak gadis berambut kuning itu berlari ke arah mereka, tetapi tepat sebelum hal itu terjadi, Mizuki berhasil menahannya dengan menarik lengan kanannya.
“Hikari, tenangkan dirimu! Jika kau pergi ke sana, itu hanya akan menambah beban mereka!” kata Mizuki, mencoba menenangkan.
Namun dengan air mata yang telah membasahi wajahnya, Hikari tetap bersikeras hendak pergi. “Aku tidak diam saja! Aku tidak mau membiarkan mereka terluka begitu saja! Aku tidak ingin keluarga kita berkurang lagi seperti dulu!” ujarnya, sembari melepas pegangan tangan Mizuki.
Hanzama dengan segera ikut menahan gadis tersebut. Meski telah mencoba sekuat tenaga, kedua laki-laki itu hampir kewalahan ketika Hikari memberontak. Tepat sebelum keadaan semakin memburuk, seorang laki-laki berkaca mata hitam dengan jas dan celana putih mendekat dan menepuk pundak Hikari.
“Tenanglah, gadis muda! Aku tahu kau begitu mengkhawatir mereka berdua, tetapi jangan sampai hal itu membuatmu terbunuh di sini!”
Ketika melihat sosok di hadapan mereka, tak sepatah kata pun terucap dari mulut mereka bertiga. Sosok yang tidak lain adalah orang yang paling dihormati di sekolah Akashic tersebut ikut menonton pertarungan antara Kagami dan Hanabi melawan Astal Stage 5.
“Ke-kepala sekolah? Kenapa Anda bisa berada di sini?” kata Mizuki, panik.
“Itu benar, kenapa Anda bisa di sini? Apa yang Anda lakukan?” kata Hanzama, mendadak menegapkan tubuhnya disertai rasa takut.
Pria itu terlihat tenang-tenang saja meski melihat pertempuran yang dirasa berat sebelah. Ketenangan yang terpancar darinya terasa sangat meyakinkan seakan tidak akan ada hal buruk yang terjadi.
Pria itu membenahi kaca matanya sembari berkata, “memang apa salahnya jika aku ingin melihat pertarungan atasanku sendiri? Aku harus meyakinkan diriku sendiri agar dapat memercayakan para muridku kepadanya.” Dia kemudian duduk dengan santainya sembari menyalakan sebatang rokok.
Semua anggota yang berada di dekat helikopter itu hanya terpaku dengan mulut sedikit terbuka. Terlihat mereka tidak dapat memahami isi dari ucapan pria itu sehingga membuat mereka semua kebingungan.
Di sisi lain, Kagami yang berhasil selamat dari kematian mencoba bangkit kembali, ia segera berlari menuju ke tempat Hanabi untuk memastikan keadaannya. Ketika mereka bertemu, kekhawatiran mereka seakan lenyap begitu saja. Mereka saling memandang satu sama lain dengan saling memberi senyuman hangat.
“Apakah kau terluka, Hana-chan?” kata Kagami, mengulurkan tangannya.
“Mou, sekarang kau malah memanggilku Hana-chan. Aku baik-baik saja, berkat pertolonganmu, Kagami-kun,” katanya, wajah gadis itu mendadak sedikit memerah.
“Sekarang kau pun memanggilku begitu. Ya, tidak apa sih.”
“Sekarang bagaimana, Ketua?”
“Hmmm, cukup sampai di sini saja main-mainnya. Kurasa pria sok tampan itu mulai bosan dengan keadaan ini,” ujar Kagami, sambil menunjuk jauh ke arah belakang.
Astal itu kembali menyerang, dan kini dia berusaha keras menggunakan kedua kaki depannya. Kontan Kagami mengangkat tubuh Hanabi dan menjauh dari serangan tersebut. Merasa dirinya diperlakukan seperti seorang putri kerajaan, wajah Hanabi kembali memerah. Laki-laki itu kemudian mengambil pistolnya dan mendekatkan ke wajahnya.
“Cast Leap!” katanya, memberi perintah.
Kemudian pistol itu terkokang otomatis. Segera Kagami mengarahkannya ke bawah dan menekan pelatuknya, saat itu pula muncul lingkaran sihir biru di bawah kakinya. Setelah itu tiba-tiba mereka berdua menghilang dari pandangan dalam sekejap mata. Dan ketika mereka kembali muncul, keduanya berada di dekat helikopter. Kagami lantas menurunkannya, mendadak Hanabi mendapat pelukan dari Hikari dan Tohsaka yang sejak awal sangat mengkhawatirkan mereka.
“Ha-chan! Syukurlah kau tidak terluka! Aku sangat ketakutan saat melihatmu bertarung tadi,” kata Hikari, merentangkan tangannya dan memeluknya Hanabi dengan erat.
“Tenanglah, Hi-chan! Aku baik-baik saja berkat Kagami-kun, kau tidak perlu khawatir.”
“Ya ampun, sejak kapan kau memanggilnya begitu? Apa yang telah terjadi kepada kalian berdua?” ucap Hikari, mencoba menggoda.
Tiba-tiba wajah Hanabi menjadi sedikit merah karena tersipu malu, “sudah! Hentikan itu, Hi-chan!”
Melihat temannya yang kembali aman, Kagami lantas mengambil sebuah batu kecil yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Sejenak dia memejamkan matanya, lalu muncul cahaya biru dari telapak tangannya.
“Wahai pedang suci, datanglah dan layani aku dengan segenap kekuatanmu!”
Tepat setelahnya, cahaya itu kemudian terlihat memanjang dan memunculkan sebuah pedang besar bilah ganda berwarna merah api dan berhiaskan warna emas. Sontak hal tersebut mengagetkan semua orang yang melihatnya. Mereka pastinya akan segera bertanya-tanya apabila Kagami masih tetap berada di tempat itu. Dengan segera dia menghilang kembali menggunakan sihir yang sama dengan yang sebelumnya ia gunakan bersama Hanabi.
Laki-laki itu langsung muncul di depan monster raksasa itu, dan segera monster itu mengibaskan ekornya, tetapi dengan kecepatan seperti cahaya Kagami melesat melewatinya dan berhasil memotong ekornya. Dia yang kini berada di belakang monster itu dengan leluasa kembali menyerang dan berhasil memotong lagi ekor ketiganya.
Monster itu tiba-tiba bergerak dengan cepat, memutar tubuhnya dan mengayunkan kakinya dan berusaha menendang Kagami, tetapi sebelum sempat mengenai tubuhnya, laki-laki itu mengubah pedangnya menjadi perisai besi dan menahan serangan dadakan itu. Kemudian ia melepaskan perisainya dan berlari melalui sisi bawah monster tersebut, lalu dia memutar tubuhnya menghadap monster tersebut sembari mengulurkan kedua tangannya.
“Wahai petir suci, datang dan mengamuklah ke hadapan lawanmu. Rage of Blue Thunder!”
Dari telapak tangannya yang terbuka kemudian muncul lingkaran sihir biru dengan simbol naga di tengahnya, lingkaran sihir itu perlahan melebar dan semakin besar. Kilatan petir tiba-tiba muncul dari lingkaran tersebut dan menyambar tubuh monster itu hingga membuatnya terbakar dan mengeluarkan asap hitam dari dalam tubuhnya, kulitnya yang semua berwarna coklat berubah menjadi hitam. Lalu monster itu tumbang dan menyebabkan getaran cukup kuat yang mengguncang wilayah tersebut.
Terdengar samar-samar sorakan penuh kegembiraan mencuat kiat mengeras dari belakangnya, lantas ia memalingkan pandangannya, melihat ke arah di mana teman-temannya bergembira atas kemenangan Kagami beberapa saat lalu. Dia kemudian berjalan dengan santainya menuju ke tempat mereka. Setelah sampai di sana, terlihat Hanabi berada di tempat terdepan dan menyambutnya dengan senyuman.
“Syukurlah kau baik-baik saja, Kagami-kun. Kau benar-benar membuatku ketakutan sejak tadi.”
“Kau benar-benar hebat, Kagami! Kau bahkan bisa mengalahkannya dengan sihirmu, pokoknya kau hebat sekali! Tapi tunggu dulu, sihir apa tadi yang kau gunakan?” kata Mizuki, keheranan.
Hanzama lalu merangkul Kagami dan menariknya. “Yang jelas itu bukan sihir yang bisa kau gunakan Mizuki, benar ‘kan, Kagami?” katanya, mencoba menggoda.
Sontak saja setelah melihat sihir tersebut, mereka semua menjadi penasaran dengan sihir yang digunakan Kagami, terlebih yang digunakannya bukanlah sihir modern yang biasa diaktifkan dengan senjata sihir. Lalu bagaimanakah penjelasan atas kedua sihir misterius tadi?
Tohsaka kemudian mendekat, wajahnya terlihat tidak menentu dan dipenuhi kebimbangan, “Kagami-kun? Benarkah itu tadi adalah sihir kuno? Benar ‘kan?”
Kagami mengangguk untuk menjawab pertanyaan gadis berambut coklat tersebut. Meski begitu, rasa penasarannya seakan masih kurang dan masih meninggalkan jejak khawatir pada dirinya sendiri.
“Lalu pedang tadi? Itu bukanlah sihir modern yang diciptakan manusia ‘kan? Bagaimana kau bisa melakukannya?”
Kagami tersenyum sesaat, lalu dia berkata, “Itu adalah percabangan sihir kuno, tidak sulit sih melakukannya, tetapi jika tidak sering berlatih maka tetap saja sulit, di tempatku itu disebut sihir alkimia.”
“Sihir alkimia yang kugunakan hanya mengubah partikel benda yang kusentuh dan menambahkan afinitas sihir, lalu sesuai perintahku, benda itu bisa berubah wujud menjadi apa pun,” katanya, menambahi.
Mendengar penjelasan tersebut mereka hanya terpaku, kecuali Tohsaka yang memang sejak awal sedikit memahami tentang sihir kuno. Pria berpakaian serba putih itu lantas mendekat dan melepas kaca matanya.
“Bagaimana, Kagami-san? Kau menyukai tempat ini?”
Kagami menoleh, “ah, Albert-san? Ya, bisa dibilang cukup menyenangkan. Sepertinya aku akan berada di sini cukup lama.”
“Begitu ya? Baguslah jika kau menyukainya, itu berarti ibumu tidak perlu cemas dengan keadaanmu.”
“Tentu saja, akan gawat jika sampai dia berpikir aku tidak menyukai tempat ini.”
“Lalu, Letnan Jenderal Kagami Kiriyama, bersediakah Anda meminjamkan kekuatanmu demi negeri sakura ini?”
Kagami mengangguk disertai senyuman percaya diri, “atas namaku sendiri, aku bersumpah akan melindungi negeri ini.”
Keheningan tercipta beberapa saat setelahnya, kemudian pria bernama Albert itu mengangkat tangan kanannya dan memberi hormat, begitu juga dengan Kagami, ia pun membalasnya dengan memberi hormat.
Kagami menoleh ke kanan, dia merasakan lengan bajunya ditarik pelan oleh seseorang.
“Kagami-kun? Apa maksud semua ini?” kata Hanabi, wajahnya terlihat gelisah saat memandangi laki-laki itu.
“Letnan Jenderal? Yang benar saja! Tidak mungkin orang seperti itu berada di kelas Omega seperti kita!” ujar Mizuki.
“Aku memang ditugaskan kemari untuk membantu sekolah ini. Tetapi bukan berarti aku akan ikut bermain begitu saja. Setelah aku mendengar adanya rumor mengenai pembagian kelas antara Alpha dan Omega, mana mungkin aku akan diam begitu saja.”
“Ayo kita buat regu dari kelas Omega yang mampu berada di puncak dan mengalahkan para Alpha serta menghilangkan pandangan buruk orang-orang mengenai kelas Omega! Kalian mau membantuku, ‘kan?” katanya, melanjutkan.
Kelimanya sangat terkejut begitu mendengar alasan Kagami, tetapi yang paling terlihat syok adalah Hanabi. Dia mendekati laki-laki itu, kemudian menyentuh dadanya secara perlahan sambil menunduk lesu.
“Kalau begitu, kuberikan posisiku sebagai ketua regu kepadamu, Kagami-kun,” katanya, terlihat semakin lesu.
Semua orang yang mendengarnya terkejut seketika kecuali Albert, mereka menatap Hanabi dengan tatapan tidak percaya, karena melepas jabatannya begitu saja.
“Ha-chan?”
“Ketua Hanabi?”
Gadis itu hanya menunduk dan tak berkata sedikit pun. Kagami kemudian menyentuh pundaknya. “Hana-chan, aku datang ke sini bukan untuk merebut posisimu. Aku datang kemari untuk menolong kalian.”
Gadis itu mulai mengangkat kepalanya, “tidak mungkin! Dengan pangkatmu itu, kau pasti bisa membuat regu ini menjadi lebih baik!”
“Tidak ada jaminan bahwa ucapanmu itu benar! Aku tetap akan menjadi anak buahmu, jadi kau tidak perlu khawatir. Meski kau merasa tidak mampu lagi, aku akan tetap membawamu maju menuju kemenangan!”
Keheningan kembali terjadi di antara keduanya, mereka saling memandang satu sama lain. Hanabi semakin mendekati Kagami, perlahan kedua tangannya terangkat dan mendarat mulus di dada laki-laki itu. Gadis itu menitikkan air matanya, entah kesedihan atau rasa haru yang menyelimutinya, tetapi laki-laki di depannya itu memberi respons.
Kagami kemudian melingkarkan kedua tangannya ke tubuh Hanabi dan memeluknya. Dia perlahan menekan kepala gadis tersebut ke dadanya dan memberi ketenangan batin sesaat. Terdengar sayup-sayup isak tangis Hanabi, semakin keras di antara kawannya hingga mereka tak kuasa menahan diri dan ikut tertunduk seakan perasaan gadis tersebut berhasil tercurahkan.
Setelah itu mereka bersama-sama memasuki helikopter dan kembali mengudara menuju sekolah Akashic. Entah kejadian tadi membuat Hanabi mengubah pemikirannya atau tidak, tetapi semenjak saat itu, dia menjadi lebih dekat dengan Kagami. Begitu pula dia yang telah menarik perhatian kawan barunya, Kagami merasa harus ikut bertanggung jawab dengan tindakannya.
Informasi akan kedatangan mereka ke sekolah dengan kesuksesan besar tersebar begitu cepat. Bahkan meski berada di helipad yang dapat dikatakan luas, sekumpulan manusia memadatinya hingga terlihat seperti kerumunan semut yang menemukan sumber makanan baru. Sorakan kegembiraan terwujud di sekolah itu, terlebih wilayah tersebut dipadati oleh murid dari kelas Omega.
Moral serta harga diri mereka seakan melesat naik ketika mendapat kabar bahwa regu seangkatan mereka berhasil menyelamatkan regu kelas Alpha dan mengalahkan Stage 5. Meski kenyataannya Kagami yang membunuh monster tersebut, tetapi penghargaan tinggi tetap mereka dapat sebagai regu terbaik di kelas Omega.
Regu 471 kembali ke ruangan mereka, Kagami yang pertama memasuki ruang tersebut langsung berbelok ke arah dapur dan terlihat tengah menyajikan sesuatu.
“Wah... wah... setelah bertarung dengan monster tadi, kau langsung membuat minuman sendiri. Apakah kau tidak lelah, Kagami-san?” kata Tohsaka, merebahkan tubuhnya di sofa seperti tak bertenaga sedikit pun.
“Aku sudah terbiasa melawan mereka, mungkin tadi aku sedikit terkejut, tetapi aku ingin bersantai dengan caraku sendiri.”
“Pahlawan ternyata memang hebat, hahaha!” kata Mizuki.
Kagami kemudian menuju ke arah mereka, membawa lima cangkir berisi kopi panas. Hanzama yang baru saja keluar dari ruang tidur wanita pun ikut bergabung bersama mereka.
“Hanabi tertidur sangat pulas, mungkin dia terlalu lelah melawan Astal tadi.”
“Oh, terima kasih, Han. Pertarungan pertamanya melawan Stage 5 pasti membuat tubuhnya syok.”
“Kemungkinan begitu.”
Dengan beredar kabar bahwa kelas Omega mampu mengalahkan Stage 5, tentunya hal itu menjadi berita terheboh di sekolah tersebut sekaligus menjadi sejarah pertama bagi kelas Omega.
Kagami menyeruput kopinya, lalu memandang ke atas. Terlihat dari pandangannya, laki-laki itu tengah memikirkan sesuatu.
“Kagami-san, bagaimana caramu bisa mencapai pangkat setinggi itu dalam usiamu yang masih muda?” Hikari memulai pembicaraan kembali setelah keheningan sesaat.
“Benar! Kami juga ingin mengetahuinya,” ujar Mizuki.
Namun laki-laki tersebut hanya terdiam dan meminum kopinya hingga habis, lalu menaruhnya ke atas meja di depannya.
“Kalian akan menyesal setelah mendengarnya,” kata Kagami. Dia tiba-tiba keluar dari ruangan tersebut, meninggalkan regunya yang masih penasaran dengan jati dirinya.
“Menyesal?” Gadis berambut coklat itu berusaha mengikuti Kagami, tetapi ketika ia membuka pintu, laki-laki tersebut telah menghilang dari pandangannya. “Loh?” ucapnya, terkejut.
Malam datang sangat cepat, kehadiran sang mentari tergantikan oleh rembulan yang bersinar terang tepat di atas kepala. Di balkon yang terdapat pada lantai lima gedung asrama kelas Omega. Kagami memandangi bulan yang terlihat mencapai titik sempurnanya. Lalu seorang pria berpakaian serba putih dengan kaca mata dan rambut perak mendekatinya, ia bersandar pada pagar pembatas.
“Aku menawarkan kursi kepemimpinan OSIS sekolah ini kepadamu, apa kau mau menerimanya?” ucap pria tersebut. Tetapi Kagami menggeleng lesu tanpa bersuara sedikit pun.
“Kenapa? Padahal jika kau menjadi ketua OSIS, kau dapat menggerakkan kekuatan seluruh murid di sekolah ini.”
Kagami masih terdiam, beberapa saat kemudian ia menoleh kepada pria tersebut. “Aku tidak mau membuat kegaduhan besar di tempat ini.”
“Apa maksudmu? Dengan kekuatanmu, kau dapat menepis semua pikiran buruk dari murid lain yang menentangmu!”
“Dengar, Albert. Aku tidak mau menyatukan hati seseorang dengan kekuatan yang mengacu pada perpecahan. Aku lebih suka menggunakan kekuatanku untuk menghancurkan para Astal.”
“Karena itukah kau selalu terjun ke medan perang bersama prajuritmu?”
“Ya, selain itu, pengalamanku masih kurang.”
“Apa? Kau memimpin Unit 1 Divisi Pemusnahan Massal dan mengatakan pengalamanmu masih kurang? Apa kau bermaksud menutupi kekuatanmu sendiri? Atau kau takut menghancurkan dunia ini?”
“Unit 1 yang pernah memusnahkan seratus Astal Stage 6 hanya terdiri dari empat orang prajurit spesial. Mereka bahkan memiliki kekuatan setara iblis, apa kau mencoba menolak kenyataan itu?” lanjutnya.
Entah apa yang terjadi, Kagami tiba-tiba menoleh ke belakang. Ke arah di mana pintu terbuka. Sesaat ia melihat bayangan bergerak cepat, tetapi ia tidak memedulikannya dan kembali menoleh ke arah Albert.
“Kau berbicara terlalu keras, Albert!”
“Itu karena kau keras kepala!”
Keduanya menunduk dan menghela napas berat bersamaan. Di ruang regu 471, Hanzama tengah berselancar di dunia maya. Laki-laki berkaca mata dengan rambut pendek itu terlihat serius memandangi layar komputer di depannya. Mizuki kini tengah membaca sesuatu melalui Device-nya, terlihat seperti surat kabar harian berwujud hologram.
Tohsaka hanya berbaring di sofa sembari menonton televisi dengan santainya. Sedangkan Hikari, dia tidak ada di dalam ruangan tersebut. Mendadak pintu ruangan tersebut terbanting sangat keras. Sontak ketiga rekannya itu terkejut dan menatap aneh ke arah pintu tersebut.
“Berita panas! Berita panas!”
Hikari langsung berlari begitu saja, mendekati Hanzama. Ia mengambil alih komputer tersebut dan langsung menggunakannya tanpa izin terlebih dahulu.
“Kau ini kenapa, Hikari?” kata Mizuki.
“Hn, kau kenapa Hi-chan?” kata Tohsaka, ikut bertanya.
Keduanya lalu ikut mendekati keempat orang tersebut melihat ke arah komputer dengan antusiasnya.
“Diam dan lihat saja!” katanya, menggertak.
Beberapa saat kemudian, kedua mata mereka melotot ke layar komputer. Entah apa yang tengah mereka lihat, semuanya terlihat berkeringat dan memasang wajah aneh. Pintu yang sebelumnya tertutup itu kemudian terbuka lagi, Kagami dengan wajah datarnya memasuki ruangan tersebut tanpa merasa aneh sedikit pun.
“Ha...! Kagami...!” ucap keempat orang tersebut bersamaan dengan paniknya.

0 Komentar